Welcom to ekajayapu.blogspot.com

do not ever resign work

Senin, Juni 07, 2010

Suplemen Sejarah Perlu Kreativitas Guru


Oleh : G. Moedjanto
Kompas Senin, 10 April 2000
PELAJARAN paling rentan berhubung dengan adanya reformasi adalah sejarah. Hal itu terjadi karena lahirnya keberanian untuk mempersoalkan hal-hal yang kontroversial. Maka, begitu era reformasi bermula, muncullah tuntutan agar pelajaran sejarah-yang selama Orde Baru diselewengkan menjadi alat legitimasi-diluruskan.
Untuk itu Kurikulum 1994 mesti dibenahi. Hal itu dilakukan tanpa membongkar seluruh bagiannya, melainkan dibatasi pada pokok-pokok bahasan yang memerlukan pelurusan mendesak. Hasil dari usaha pembenahan itu adalah suplemen Garis-garis Besar Program Pengajaran alias GBPP pelajaran sejarah bertanggal 15 Oktober 1999.
Guna membenahi kurikulum pelajaran sejarah, khususnya GBPP-nya, Depdiknas melalui Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah mengerahkan suatu "pasukan" yang digolongkan menjadi dua, yaitu penulis (12 orang) dan editor buku pedoman bagi guru (empat orang). Dari nama-nama yang tercantum dalam suplemen, jelas Depdiknas berniat membuat suplemen dan buku pedoman yang betul-betul historis-ilmiah.
Dikeluarkannya suplemen bertujuan untuk membantu guru sejarah dalam proses mengajar-belajar (dalam suplemen hanya disebut proses belajar), antara lain agar (1) guru memiliki fakta yang akurat, dikaji dan teruji serta disetujui oleh para sejarawan tentang peristiwa G30S, Surat Perintah 11 Maret dan awal Orde Baru, serta masalah integrasi Timor Timur, sehingga guru dapat menjelaskan dan memberikan jawaban yang lebih meyakinkan kepada peserta didik (murid-siswa); dan (2) dapat menjelaskan adanya kerancuan antara fakta dan penafsiran yang terdapat dalam berbagai sumber informasi, sehingga kerancuan tidak berdampak negatif.
Kalau kita membaca suplemen untuk Kurikulum 1994, yang tebalnya 69 halaman kwarto, terbuktilah bahwa bahan ajar yang termuat dalam paragraf "Tujuan" masih harus ditambah dengan dua bab, yaitu:
(1) Krisis dan Tuntutan Reformasi (bab IV); dan (2) Perkembangan dan Penerapan Ilmu Pe-ngetahuan dan Teknologi serta Masalah Lingkungan Hidup (bab V).
Jadi beratlah tugas guru sejarah untuk mengajarkan suplemen atas bahan yang sudah ada. Dan semoga pedoman yang sedang ditulis betul-betul membantu guru sejarah. Jadi uraiannya mesti uraian yang bernuansa sejarah.

***

UNTUK membuat ulasan atas suplemen, yang karena terbatasnya ruang, maka perlu kiranya para siswa diberi pemahaman beberapa prinsip. Pertama, bagaimana kisah masa lalu itu disusun. Berbeda dengan ilmu alam atau sosiologi, yang sumber informasinya dihadapi langsung, dalam sejarah peneliti dan obyek yang diteliti dipisahkan oleh jarak waktu.
Kedua, jangan memaksakan kepastian. Sumber sejarah tidak selalu memberikan informasi yang mencukupi dan jelas. Maka sejarawan harus berani berendah hati menyatakan peristiwa yang diteliti dengan keterangan barangkali, mungkin, atau menurut sumber A begini, menurut sumber B begitu. Dengan demikian, untuk menulis sejarah diperlukan keberanian dan kemampuan membuat tafsiran, yang demi mendekati kebenaran, tafsiran itu tidak boleh sembarangan, melainkan harus metodis. Bahkan kadang-kadang harus berani menerima adanya dua tafsiran (simpulan atau teori), sebab dalam membuat tafsir sejarah, pandangan subyektif penulis yang satu dan yang lain tak dapat dihindari 100 persen. Maka pentinglah perspektif sejarah.
Ketiga, kebenaran sejarah itu selalu bersifat sementara. Pada masa kemudian penulisan kembali sejarah harus dilakukan. Hal itu terkait dengan ditemukannya sumber sejarah yang baru, pemakaian pendekatan dan metode penulisan baru dan lepasnya penulis sejarah dari zaman atau situasi yang menjeratnya.

***

AKTUALISASI pengajaran sejarah dengan bahan suplemen ini menuntut keberanian dari para guru dan kearifan birokrat pendidikan. Beranikah guru mengemukakan uraian sejarah yang benar, meski berbeda dengan bahan dalam buku resmi?
Kalau kita cermati sebenarnya suplemen ini mengisyaratkan supaya guru mempunyai keberanian memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan fakta dan tafsir lain, yang berbeda dengan fakta dan tafsir yang disampaikan oleh guru, tanpa guru menyalahkan peserta didik. Perbedaan fakta dan tafsiran justru dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan diskusi, sehingga kemampuan berpikir siswa bertambah kuat, serta kemampuan membuat sintesis diberi peluang untuk berkembang (Bab Pendahuluan, butir C No 4-6). Kecuali itu, birokrat pendidikan supaya memberi peluang kepada guru untuk berkreasi dalam pengajaran sejarah demi kebenaran obyektif, bukan kebenaran resmi. Akhirnya, mutu pendidikan sangat ditentukan oleh mutu guru. Lagi pula, bukankah historiografi babad sudah lewat?
Akan tetapi, suplemen ini masih perlu dikembangkan, antara lain oleh guru, sehingga persoalan yang dibahas menjadi proporsional. Sejauh ini kita jumpai begitu banyak pertanyaan dengan kata kunci bagaimana. Guru dapat dan harus menambah dengan kata kunci apa dan bagaimana hubungan-(nya). Akan menjadi analisis kalau pertanyaannya menggunakan kata kunci mengapa, misalnya mengapa PKI berhasil membunuh jenderal-jenderal AD dalam peristiwa G30S? Mungkin ada siswa yang menjawab "itulah bukti dinas inteligen AD pada tahun 1965 lemah".

***

SUPLEMEN ini memang dibuat untuk membenahi pengajaran sejarah dengan Kurikulum 1994. Akan tetapi, kita mesti memakainya secara kritis dan bila perlu harus memberikan koreksi, misalnya:
1) Tes obyektif uraian, kiranya yang benar tes obyektif dan tes uraian dan seterusnya (hal 3);
2) Manifesto Politik 1957, mestinya 1959 (hal 5);
3) Penggunaan kata Portugis dan Portugal perlu dibetulkan secara ajeg, misalnya pada halaman 18, 19, 24 dan passim; dan,
4) Gerakan 20 Mei 1998 bukan saja gerakan mahasiswa tetapi gerakan seluruh rakyat dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam VIII.
Meski beban guru sejarah dengan suplemen itu bertambah berat, tetapi biarlah guru mencobanya. Kita beri peluang kepada mereka untuk berkreasi dengan cermat. Suplemen itu buatan orang, meski bergelar doktor atau profesor tentu masih dapat berbuat salah, karena mereka bukan Sang Maha Wikan.*
(G Moedjanto, sejarawan dan dosen di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta )

Jumat, Mei 21, 2010

Gawai Dayak,Rumah Panjang Sebagai Penelusuran Identitas (Perspektif Teori Fungsional)


PENGANTAR

A. Latar Belakang
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern.
Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak. Perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat upacara syukuran kepada Jubata yang dilaksanakan masyarakat Dayak Kalimantan Barat setiap tahun setelah masa panen. Upacara adat syukuran setelah panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange.
Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan upacara pascapanen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketimanggungan. Acaranya pun hanya terbatas pada nyangahathn (pelantunan doa/mantra) dan saling kunjung dengan suguhan utamanya seperti: salikat/poe‘ (lemang/pulut dalam bambu), tumpi‘ (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan sejenis daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.
Berkaitan dengan upacara gawai Dayak yang dijadikan momentum dalam rangka mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. Dalam prosesi upacara gawai dayak tidak dapat terpisahkan dari rumah panjang sebagai identitas orang dayak. Rumah panjang memberikan arti penting yaitu gotong royong, kebersamaan dan tanggung jawab seorang pemimpin kepala suku. Seiring dengan hal kegiatan tersebut apakah masih relevan dengan kajian dari teori fungsional. Dimana teori fungsional mengatakan setiap tindakan atau kegiatan yang masih berjalan sesuai dengan struktur atau prosedur maka hal tersebut masih berfungsi. Apabila seharusnya hal tersebut dilakukan namun tidak sesuai dengan prosedur maka kegiatan itu sudah tidak berfungsi lagi. Teori fungsional tetap berjalan apabila sebuah kegiatan masih utuh dan fungsi atau maksudnya. Kapasitas teori fungsional dapat diukur atau dilihat dari fungsi sosial, agama, budaya, adat-istiadat dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
 Berdasarkan dari latar belakang masalah maka dapat dimunculkan  beberapa masalah sebagai berikut :
  1. Apa makna gawai dayak ?
  2. Mengapa rumah panjang sebagai identitas dayak ?
  3. Apakah fungsi rumah panjang terhadap gawai dayak ?
 

PEMBAHASAN

1.    Gawai Dayak
Suku dayak merupakan kelompok orang yang diakui penghuni hutan Kalimantan pertama. Kebudayaan yang tumbuh mencerminkan karakter manusia pekerja keras karena keadaadan ekologis yang membentuknya. Dengan perkembangan dan pertumbuhan evolusi manusia sehinggga Kalimantan Barat khususnya memiliki jumlah suku dayak yang banyak. Suku dayak induk terbagi menjadi 7 dan terdapat 405 sub suku didalamnya, sehingga setiap daerah atau tempat memiliki bahasa yang berbeda. 
Suku dayak pada umumnya masih berfikir primitif artinya dalam bertindak selalu menganggap segala sesuatu memiliki roh. Mereka memiliki kepercayaan bahwa manusia itu bagian dari alam sehingga apa yang ada di alam ini juga mahluk hidup yang harus dijaga karena sesuatu yang bergerak memiliki kekuatan. Dari hal itu orang dayak menganggap sesuatu memiliki roh maka mereka percaya bahwa roh itu dapat membantu dalam segala hal.
Percaya dengan adanya kekuatan di luar manusia maka terciptalah hukum yang tercermin dalam adat. Hukum atau adat merupakan manifestasi kepercayaan yang dapat membentuk mereka menjadi sebuah manusia yang memiliki aturan dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum yang mereka buat timbul dari jiwa rakyat sebagai proses dari kebudayaan mereka, maka dapat dinikmati dan diresapi hingga kesegenap lapisan suku daya.
Dengan adanya aturan dalam hidup membuat manusia dapat memilah hal yang buruk dan baik. Hal ini tercermin ketika seseorang melakukan perbuatan salah maka harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Berat ringannya hukuman sesuai dengan kesalahan yang diputuskan bersama. Di samping itu juga ada aturan yang dibuat dalam rangka menjaga keutuhan alam, menjaga keamanan dalam kelompok, tatanan sosial, dan sebagainya.
Kekuatan yang berada di luar manusia menjadikan orang dayak sangat takut melakukan kesalahan. Roh menurut mereka ada yang jahat ada pula yang baik, cara menghormatinya adalah ketika orang dayak membuat lahan baru atau melakukan cocok tanam mereka selalu meminta bantu atau perlindungan roh. Sebagai bentuk penghormatannya adalah sesembahan dalam bentuk gawai.
Gawai adalah upacara adat yang didalamnya bermakna syukur yang tak terhingga kepada roh leluhur atau Jubata ( penyebutan Tuhan dayak Ahe ) karena telah membantu dan memberikan perlindungan selama bercocok tanam hingga panen. Upacara gawai dayak di tiap-tiap tempat penyebutannya berbeda-beda namun hakikatnya sama. Sebutan  Naik Dango, atau Maka‘ Dio adalah penyebutan upacara gawai dayai secara universal “Tujuannya sendiri kurang labih sama, mengadakan pesta atau selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata” (Akcaya, 1997:16). Aswin dalam Akcaya 29 April 1994:03 mengatakan, “Upacara Naik Dango merupakan ungkapan rasa syukur atas keamanan, kesehatan, dan hasil panen yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan”. Jadi, Gawai Dayak pada prinsipnya sama dengan Naik Dango.  “Orang Dayak paling tidak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan mulai dari Baburukng sampai tahap terakhir yaitu, upacara adat Naik Dango atau Ka‘ Pongo”. Sebelum hari puncak dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan pelantunan mantra (nyangahathn), yang disebut matik. Tujuannya ialah memberitahukan dan mohon restu kepada Jubata bahwa besok akan dilaksanakan pesta adat. Pada hari puncaknya dilaksanakan upacara adat dengan nyangahathn di ruang tamu (sami), memanggil semangat (jiwa) padi yang belum kembali, nyangahathn di lumbung padi (baluh atau langko) untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya, dan nyangahatn di tempayan beras (pandarengan) tujuannya memberkati beras agar bertahan dan tidak cepat habis.
Nyangahathn dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi religi suku Dayak. Nyangahatn adalah wujud upacara religius yang menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan atau tahapan yang baku, kecuali bahan, jumlah roh suci, para Jubata yang diundang, dan tentu saja konteksnya. Dari segi tahapannya nyangahatn terbagi menjadi (1) matik, (2) ngalantekatn, (3) mibis, dan (4) ngadap Buis. Matik bertujuan memberitahukan hajat keluarga kepada awa pama (roh leluhur) dan jubata. Ngalantekatn bertujuan permohonan agar semua keluarga yang terlibat selamat. Mibis bertujuan agar segala sesuatu (kekotoran) dilunturkan, dilarutkan, dan diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam ke arah barat. Terakhir adalah ngadap buis, yakni tahapan penerimaan sesajian (buis) oleh awa pama dan Jubata, dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat atau pengudusan (penyucian) terhadap segala hal yang kurang berkenan, termasuk pemanggilan semua jiwa yang hidup (yang tersesat) agar tenang dan tenteram.
Dilihat dari kondisi bahan yang digunakan, tahapan pertama sampai ketiga, disebut nyangahatn manta, yakni nyangahatn dengan bahan yang belum masak (mentah), sedangkan ngadap buis disebut nyangahatn masak, disiapkan dengan bahan-bahan yang siap hidang (sudah masak). Sebenarnya ada nyangahathn dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa ungkapan/doa pendek dengan sajian sederhana: nasi, garam, dan sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau, dan rokok daun nipah), nyangahathn sederhana ini disebut babamang.
Gawai Dayak atau Naik Dango didasari mitos asal mula padi yang populer di kalangan orang Dayak Kalbar, yakni cerita nek baruang kulup. Cerita asal mula padi berawal dari setangkai padi milik jubata di Gunung Bawakng yang dicuri seekor burung pipit dan jatuh ke tangan nek jaek yang tengah mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput menyebabkan ia diejek, dan keinginan membudidayakannya menyebabkan pertentangan dan bahkan ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata, adalah nek baruang kulup. Nek baruang kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada talino (manusia,) lantaran ia suka turun ke dunia bermain gasing. Perbuatan ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawakng dan akhirnya kawin dengan manusia. Padi akhirnya menjadi makanan sumber kehidupan yang menyegarkan, sebagai pengganti kulat (jamur) bagi manusia. Namun, untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan keluarga manusia dan jubata yang menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia. Fungsi padi dan kemurahan jubata inilah yang menjadi dasar upacara Naik Dango.
Makna upacara Naik Dango antara lain, adalah  menyukuri karunia Jubata; mohon restu kepada jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dangau padi; pertanda penutupan tahun berladang; mempererat hubungan persaudaraan/solidaritas. Dalam kemasan modern, upacara adat ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pemeran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Gawai Dayak lebih menonjol sebagai pesta daripada sebagai upacara ritual. Namun, dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.

2. Rumah Panjang
Di Kalimantan Barat rumah panjang identik dengan orang Dayak. Tidak ada suku lainnya di Kalimantan Barat, bahkan di Kalimantan yang memiliki tempat tinggal sama atau mirip dengan rumah panjang. Meski demikian, pada saat ini bagi sebagian besar generasi Dayak, budaya rumah panjang hanya tinggal cerita. Salah satu peninggalan rumah panjang orang Dayak Kabupaten Pontianak ada di Desa Saham, orang Dayak Iban di Kecamatan Embaloh Hulu masih memiliki tiga rumah panjang. Fran (1994:201).
Punahnya rumah panjang merupakan bagian dari sejarah panjang mengenai penghancuran budaya Dayak di Kalimantan Barat. Penghancuran budaya Dayak telah bermula sejak masuknya agama baru, baik Islam maupun Kristen. Orang Dayak yang masuk Islam mengidentifikasi diri sebagai orang Islam, yang berarti meninggalkan identitas mereka sebagai orang Dayak. Demikian juga, para penyebar agama Kristen yang mengemban tugas yang mereka sebut La mission sacre (tugas suci). Orang Dayak yang tidak menganut Nasrani disebut kafir, menyembah berhala, primitif, animisme. Tugas Nasrani memberadabkan orang Dayak karena menganut budaya yang mereka sebut sebagai Ragi Usang. Konsep Ragi Usang ini pada prinsipnya ialah ingin mengosongkan orang Dayak dari budaya mereka sendiri (Djuweng, dalam KR, 1998:7).
Pada masa orde baru salah satu bentuk penghancuran budaya Dayak adalah penghancuran rumah panjang pada tahun 1970–an karena hidup di rumah panjang dianggap menyerupai cara komunis, berbahaya bagi kesehatan, dan tidak bermoral karena melakukan seks bebas. “Kebijakan itu bukan saja menyinggung perasaan orang Dayak, melainkan juga bisa mempercepat proses kehilangan identitas mereka” (Josef, 1992:XVI)
Fanatisme rumah panjang selain menuntut pengadaan fisik rumah panjang sebagaimana tuntutan upacara di daerah-daerah, juga menghendaki agar fungsinya sebagai pusat kebudayaan diberlakukan kembali. Hal ini terlihat dari keinginan memusatkan segala kegiatan Gawai Dayak di rumah panjang. Dengan kata lain, fanatisme rumah panjang, menyangkut rumah panjang sebagai pusat kebudayaan yang meliputi berbagai sistem sosial yang ada di dalamnya. Gawai Dayak menjadi proses penelusuran kembali salah satu identitas penting dalam budaya Dayak yang terlindas sejarah masa lalu.
Dikaitkan dengan penghancuran rumah panjang di masa silam, penegasan kembali identitas budaya rumah panjang juga dapat dilihat sebagai proses perlawanan panjang atas sejarah untuk memperoleh kembali apa yang sebelumnya dipaksa hilangkan melalui penghancuran budaya Dayak, yakni pengakuan dan penghargaan terhadap orang Dayak sebagai sesama dengan segala kekhasannya. Orang Dayak tidak ingin sekedar dianggap ada, tetapi hak-hak mereka sebagai warga dihormati dan dihargai. Dalam perspektif ini Gawai Dayak tidak hanya strstegis bagi pengembangan seni budaya Dayak, tetapi juga strategi bagi membangun dimensi kemanusiaan penting lainnya, yakni perasaan sederajat, dan keyakinan terhadap budaya sendiri.
Rumah panjang menjadi sangat sakral ketika kehidupan orang-orang dayak dilakukan di dalamnya. Sehingga setiap kegiatan ataupun masalah selalu dibicarakan di dalam rumah panjang. Mereka hidup dan bercengkrama baik suka maupun duka selalu dalam rumah panjang. Keberadaanya menjadi penting dan tidak dapat terpisahkan dari kehidupan dan sudah menjadi identitas orang ketika membicarakan orang dayak.

3. Fungsi Rumah Panjang Terhadap Gawai Dayai
Sebelum menginjak pada fungsi rumah panjang terhadap gawai dayak, ada beberapa hal yang harus kita ketahui yaitu pelaksanaan upacara gawai dayak yang tentunya persiapannya dilakukan di rumah panjang. Sebelum pelaksanaan gawai terlebih dahulu para pemuka dan masyarakat memperisiapkan barang-barang yang akan digunakan seperti beras, pulut (ketan), tuak (minuman dari ketan yang dicampur dengan ragi sehingga mengeluarkan air), arak, hewan korban. Selain itu juga biasanya setiap kampung yang akan melaksanakan gawai selalu mengundang kampung lain. Undangan tersebut disebut dengan bun, sejenis rotan yang ujungnya dipuntal atau dibulatkan sesuai dengan berapa hari upacara gawai tersebut akan dilaksanakan.
Undangan diberikan setiap pintu rumah di kampung lain dan selalu meninggalkan beras ketan agar ketika dalam perjalanan para undangan menuju kampung yang akan melaksanakan gawai tidak kelaparan di jalan. Bila tiba saatnya upacara gawai akan dimulai maka para tamu sebelum naik rumah panjang terlebih dahulu akan disambut dengan tari-tarian dan pantun.
Setelah tari-tarian selesai selanjutnya para tamu dipersilahkan naik kerumah namun sebelum duduk tamu dipersilahkan memotong sebatang bambu dan harus minum air tuak terlebih dahulu. Ketika selesai memotong bambu tersebut barulah rombongan tamu dipersilahkan duduk dan segera mencicipi makanan serta minum yang telah disiapkan. Para tamu perempuan yang datang, membawa oleh-oleh berupa sepiring nasi dan seceret tuak, sedangkan yang lain terus menari-nari mengelilingi hewan yang akan dikorbankan ( J.U. Lontaan, 1975 : 492 ).
Pelaksanaan gawai dayak dilakukan sehari-harian penuh dengan suka ria, muda mudi, tua renta tanpa ada perbedaan golongan karena upacara gawai dayak merupakan kegiatan yang sangat sakral bagi orang dayak. Rumah panjang adalah tempat yang memiliki arti sangat penting dalam rangka kelangsungan upacara gawai dayak. Di samping itu juga rumah panjang merupakan gambaran bahwa kelangsungan hidup dapat berjalan dengan baik maka harus ada kebersamaan dan gotong royong sesama manusia sehingga rumah panjang tidak lagi bertujuan sebagai tempat berlindung namum sudah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara manusia, alam dan Tuhan (Jubata) dalam hal ini diaktualisasikan melalui uapaca gawai.
Dengan demikian dapat diambil suatu gambaran bahwa rumah panjang memiliki arti atau fungsi yang sangat penting terhadap pelaksanaan gawai dayak. Oleh karena itu katika dilihat dari teori fungsional maka antara rumah panjang dan gawai dayak masih dapat berjalan dengan seimbang. Saat ini rumah panjang sudah sangat jarang sekali ditemukan, ketika dilihat dari beberapa peristiwa di atas. Maka kelangsungan uparaca gawai dayak tidak lagi sesakral masa silam dan pelaksanaannya pun hanya sebatas event dan seremonial yang sudah berkurang makna sesungguhnya.
Apalagi perkembangan jaman dan teknologi sangat mempengaruhi pola dan cara hidup manusia ditambah dengan masuknya budaya-budaya baru. Bagi masyarakat yang tidak terbiasa dengan perbedaan, perbedaan budaya cenderung dilihat sebagai alasan untuk mengambil jarak, bahkan alasan untuk saling menekan. Penyeragaman menumbuhkan sikap konfrontatif dalam memandang kondisi pluralistik. Persoalan individual mudah memancing sentimen etnik, dan persoalan kecil mudah berkembang menjadi konfliks berskala besar. Situasi penyeragaman di satu sisi menyebabkan setiap kelompok cenderung tetap terisolasi, di sisi lain tidak memiliki arah berkembang yang jelas karena budaya nasional yang dijadikan kiblat tidak jelas wujudnya. Akibatnya, masyarakat daerah retak-retak dalam pluralisme dan budaya menjadi kerdil.
Hilangnya identitas dapat menyebabkan hilangnya pengakuan, kepincangan komunikasi dan berbagai bentuk kecemburuan sosial yang dapat menyebabkan keretakan, bahkan konflik dalam pluralitas. Dalam perspektif ini penegasan identitas penting bagi memupuk kesadaran akan kemajemukan, sedangkan bagi pemilik budaya, penegasan identitas penting sebab sebagaimana diungkap Kusni (1994:50), apabila keadaan tanpa kreativitas berlangsung terus, kebudayaan Dayak akan didominasi sehingga yang tertinggal hanyalah darah yang mengalir secara alami. Namun, secara kebudayaan hal itu sudah menjadi tidak jelas sehingga pengingkaran diri sebagai orang Dayak gampang terjadi.
 

DAFTAR PUSTAKA

Djuweng, Stepanus. 1998. Pembangunan Berarti Penindasan?, dalam Kalimantan Review. Pontianak: Institute of Dayakology Research and Development.

Frans L., E , S. Jacobus, dan Kanyan Concordius. 1944. Rumah Panjang Sebagai Pusat Kebudayaan Dayak, Dalam Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi. Institut of Dayakology Research and Development, Gramedia Jakarta.

Hulten Van, Josef Herman. 1992. Hidupku di antara Suku Dayak. Jakarta: Gramedia

J.U. Lontaan. 1975. Sejarah Hukum Adat Dan Adat Istiadat Kalimantan-Barat. Jakarta :  Offset Bumirestu.

Kusni, JJ. 1994. Dayak Membangun. Jakarta: Kolektif the Paragon‘s.


Sumber Surat Kabar :

Akcaya. 21 /9/ 1997:16. Berita: “Gawai Gayak Masih Minim Dana”.

Akcaya. 29/4/1994:3. Berita:”Aswin: Upacara Adat Naik Dango Perlu Diangkat Kepermukaan”.














Rabu, April 14, 2010

Tanam Paksa

TANAM PAKSA : PELAKSANAAN DAN DAMPAK

OLEH : EKA JAYA PU


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka meningkatkan produksi tanaman-tanaman ekspor pada masa pemerintah Hindia Belanda mengangkat Johanes van den Bosch sebagai gubernur. Kegagalan VOC dalam usaha mencari keuntungan di daerah koloninya membawa negeri Belanda ke dalam kemiskinan dan hutang-hutangnya. Dengan banyaknya pejabat yang melakukan korupsi merajalela di tubuh VOC yang pada akhirnya badan usaha perdangan harus dibubarkan.

Pada 1830 Johanes van den Bosch di tugaskan untuk mengembalikan eksistensi Belanda di negeri jajahannya. Dengan demikian sistem tanam paksa menjadi sebuah pilihan untuk dijalankan guna pencapaian keuntungan negeri Belanda dalam hal produksi tanaman ekspor. Kegagalan sistem pajak tanah menyakinkan van den Bosch bahwa pemulihan sistem penyerahan wajib perlu sekali untuk memperoleh hasil tanaman dagangan yang dapat di ekspor ke luar negeri (Nugroho Notosusanto, et, 1993 : 98).

Sistem tanam paksa mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman dagangan yang diekspor ke pasaran dunia. Ciri utama tanam paksa yang diperkenalkan van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang diberlakukanpada saat sistem pajak tanah. Dengan demikian harapannya adalah pungutan dalam bentuk hasil panen tanaman ini dapat dijadikan barang mentah yang dibawa ke negeri Belanda dan dijual kembali ke pasar dunia.

Di samping itu, van den Bosch meyakini bahwa penghapusan sistem pajak tanah dan diganti dengan sistem wajib tanam akan menguntungkan para petani karena dalam kenyataannya pajak tanah yang perlu dibayar oleh para petani sering mencapai jumlah sebagai sepertiga sampai separoh dari hasil pertaniannya. Jika kewajiban pembayaran pajak tanah ini diganti dengan kewajiban untuk menyediakan sebagian dari waktu kerjanya untuk menanam tanaman ekspor yaitu 66 hari dalam setahun, maka kewajiban ini akan lebih ringan dari pada kewajiban membayar pajak tanah (Nugroho Notosusanto, et, 1993 : 99)

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang berkaitan dengan tanam paksa di Indonesia, sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia ?

2. Apa dampak pelaksanaan tanam paksa bagi Pemerintah Hindia Belanda dan rakyat ?


PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa

Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (Kopi, Tebu dan Nila atau indigo). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.

Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.

Ketentuan pokok dari sistem tanam paksa tertera dalam Staatblad (lembar negara) tahun 1834 no.22 dan mulai dijalankan di Jawa (Nugroho Notosusanto, et, 1993 : 99-100) sebagai berikut :

1. Persetujuan-persetujuan akan diadalan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.

2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.

3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk tanaman padi.

4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.

5. Tanaman dagangan yang dihasilkan untuk tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus dikembalikan kepada rakyat.

6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.

7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Ketentuan-ketentuan di atas memang tampak tidak begitu menekan rakyat. Alasannya adalah beberapa poin yang jelas mengakomodir kepentingan petani atas hak mereka dalam mengambil hasil panennya. Di samping itu juga rakyat tidak terlalu dibebani dengan menanam dan memeliharan tanaman seperti tanaman padi. Dalam prakteknya ternyata sistem ini memaksa rakyat menjalani apa yang mereka tidak duga-duga.

Dalam pelaksanaan sistem ini pemerintah kolonial Hindia Belanda menggunakan aparat tradisional untuk menguasai dan memerintah rakyat. Kepala desa merupakan mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia yang lebih tinggi tingkatnya, yang mencapai puncaknya pada bupati (yang disebut regent oleh Belanda), yaitu seorang bangsawan yang mengepalai kabupaten ( M.C. Ricklefs, 2005 : 262).

Bupati bertanggung jawab kepada pemerintahan Hindia Belanda. Para pejabat baik yang berkebangsaan Eropa maupun bangsawan Indonesia yang melaksanakan sistem tanam paksa inidibayar berdasarkan porsentase dari komoditi pertanian yang diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Ini merupakan salah satu sumber korupsi yang tumbuh subur dan perangsang munculnya tuntutan-tuntutan yang bersifat memaksa atau memeras rakyat.

Hasil-hasil bumi yang ditaksir terlalu kecul, perdagangan swasta dibidang komoditi pertanian pemerintah semakin meningkat dan transaksi-transaksi yang curang berkembang dikalangan pejabat-pejabat pribumi, orang-orang Belanda dan pera pedagang Cina. Pemerintah kolonial di Batavia tidak pernah mampu memantau dan mengontrol pengawasan pelaksanaan perintah-perintah (M. C. Ricklefs, ibid).

Salah satu akibat yang penting dari tanam paksa adalah meluasnya bentuk milik tanah bersama (milik komunal). Hal ini disebabkan karena para pengawai pemerintah kolonial cenderung untuk memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam menetapkan tugas menanam tanaman yang ditetapkan.

Pelaksanaan tanam paksa dapat dijalankan dengan unsur kekerasan di tinjau dari segi ekonomis tidak efisien karena banyak pemborosan terjadi dalam penggunaan tenaga kerja. Hal ini tentu sangat mudah dilaksanakan oleh pemerintah karena menggunakan kepala desa sebagai komando dalam penggarapan tanah. Dalam ketentuan sistem tanam paksa dijelaskan bahwa tanah rakyat yang digunakan untuk penanaman tanaman ekspor adalah seperlima dari milik rakyat, namun kenyataan di lapangan angka ini hampir separoh atau lebih dari tanah rakyat yang digunakan. Artinya kesepakan dari sebuah ketentuan yang dibuat tidak dijalankan dengan baik, hal ini yang merupakan awal proses kecurangan para pegawai pemerintah dan pejabat pribumi untuk meraih keuntungan.

Untuk melakukan pekerjaan tanam paksa yang seharusnya tidak melebihi pekerjaan penanaman padi dan tanaman milik mereka sendiri. Praktek di lapangan menunjukan bahwa adanya sebuah penyimpangan diantaranya adalah rakya dipaksa bekerja jauh lebih lama dari garapan tanaman milik mereka dan upah yang diperoleh juga sangat renda dari porsentasi pekerjaannya. Tekalan yang paling berat atas rakyat terdapat di daerah-daerah tanaman indigo terutama di daerah Parahyangan (Nugroho Notosusanto, et, 1993 : 104).

Indigo merupakan salah satu tanaman ekspor yang paling laku di pasaran Eropa. Penanaman indigo dilakukan dengan skala besar yang melibatkan tenaga rakyat yang lebih banyak karena memerlukan lahan yang besar dan jaraknya pun jauh dari pengolahan hasil panennya. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan lahan padi, hal ini ternyata menggangggu bagi proses penanaman padi sehingga rakyat sangat tidak dapat menanam tanaman subsiten untuk menopang kehidupan mereka.

Pada 1840, area di bawah tanaman indigo berjumlah 42.833 bau melibatkan 207.118 keluarga petani. Perkembangan pada 1860 perkebunan indigo meliputi 15.546 bau sedangkan rumah tangga petani yang terlibat dalam penanaman berjumlah 103.214 (A. M. Djuliati Suroyo dalam J. Thomas Lindblad (ed), 2002 : 123). Pelaksanaan tanaman indigo mengalami kegagalan disebabkan oleh keuntungan yang kecilyang diberikan kaum petani, para petani sering membuat hutang untuk membayar pajak tanah. Di samping itu juga kegagalan disebabkan oleh tanaman indigo menanduskan tanah dibandingkan dengan tanaman lain sehingga ada keengganan baik dari petani maupun kepala desa yang ditugaskan pemerintah kolonial mendapatkan intensif yang rendah.

Tebu merupakan tanaman komoditi ekspor bagi pemerintah kolonial Belanda. Periode 1830-an dan 1840-an merupakan tahap awal perkembangan penanaman tebu ketika sejumlah percobaan lapangan untuk menemukan daerah yang cocok. Hasil percobaan tersebut menemukan bahwa tebu cocok untuk lahan-lahan padi dengan penerapan sistem rotasi (A. M. Djuliati Suroyo dalam J. Thomas Lindblad (ed), 2002 : 122).

Karena posisi petani lemah diukur dari kapasitasnya yang harus menyesuaikan diri dengan sistem melalui pengorbanan tenaga dan waktu. Sementara pemerintah kolonial berusaha menyesuaikan dengan permiantaan pasar akan kebutuhan gula pada saat itu, sehingga petani sangat tertekan dalam pekerjaannya sebagai tenaga kerja yang tak bergaji. Pemerintah mendapatkan keuntungan yang luar biasa dari hasil penanaman tebu dan diikuti oleh kepala desa.

Di antara tanaman ekspor, kopi dianggap paling stabil. Penanaman kopi telah memberi pemerintah kolonial penghasilan yang besar. Beberapa kondiri ekologis khusus membuat tanaman kopi menguntungkan yaitu kopi tidak ditanam pada areal-areal padi, yang berarti mengganggu tanaman pangan utama, tetapi ditegal atau tanah-tanah kering. Hal ini membuat tanaman tersebut bermanfaat karena tegal biasanya ditanami dengan tanaman pangan yang kurang penting seperti ubi jalar, ketela dan jagung.

Penanaman kopi diperlukan tenaga kerja yang banyak untuk membuka dan menggarap lahan serta menyiapkan bibit kopi. Setelah 3 tahun tanaman telah dewasa dan dapat menghasilkan buah setiap bulan. Sepanjang periode tersebut sekitar 50% rumah tangga petani terlibat dalam penanaman kopi. Pemerintah kolonial tidak mendapatkan kesulitan memerintah agar rakyat bekerja di perkebunan kopi. Kadang-kadang residen yang antusias menjalankan kemauannya sendiri dalam usaha memperluas penanaman kopi, jadi sangat memberatkan beban yang dipikul rakyat, tetapi ini merupakan kekecualian dari pada aturan (A. M. Djuliati Suroyo dalam J. Thomas Lindblad (ed), 2002 : 124).

B. Dampak pelaksanaan tanam paksa bagi Pemerintah Hindia Belanda dan rakyat

Tanam paksa adalah gagasan Gubernur Jenderal van den Bosch yang menganggap Indonesia sebagai wingewest bermanfaat atau koloni yang menguntungkan. Sistem tanam paksa adalah sebuah sistem eksploitasi ekonomi yang dipandang paling penting. Eksploitasi ini mampu mendanai pemerintah kolonial dan yang paling penting menyumbang bagi kekayaan negara di Belanda.

Sistem tanam paksa merupakan sistem manajemen perkebunan yang dikontrol pemerintah kolonial menggunakan tenaga kerja dan tanah petani. Sistem ini sebuah sistem industri agraris yang di dalamnya pemerintah kolonial memanipulasi kekuasaan dan pengaruhnya untuk mamaksa para petani mananam komoditas-komoditas ekspor. Para petani kemudia menyerahkan produk-produknya kepada pemerintah kolonial dengan upah yang rendah. Pemerintah memainkan dua peran yaitu menjadi pedagang dan penguasa.

Hal ini merupakan alasan utama sistem taman paksa dapat berhasil tanpa menciptakan beberapa keresahan sosial serius atau pemberontakan dan lagi pula sangat menguntungkan pemerintah kolonial serta pejabat-pejabat pribumi yang manfaatkan situasi. Sistem tanam paksa pada umumnya berhasil dalam memperoleh batig slot (saldo untung) yang besar. Terbukti dari angka-angka, antara tahun 1832-1867 saldo untung mencapai f. 967 juta, dan untuk 10 tahun berikutnya, tahun 1877 mencapai jumlah f. 287 juta. Dengan demikian jumlah total batig slot yang diperoleh negeri Belanda selama kuran glebih empat dasa warsa mencapai f. 784 juta (Nugroho Notosusanti, et, 1993 : 115-116), sesuatu angka yang sangat fantastis.

Dengan demikian sistem tanam paksa pada dasarnya suatu sistem eksploitasi yang sama seperti dilakukan oleh VOC sebelumnya. Dalam eksploitasi ini baik VOC maupun pemerintah kolonial memanfaatkan ikatan-ikatan feodal dan tradisional yang terdapat di Jawa khususnya antara rakyat dan penguasa-penguasanya untuk kepentingan sendiri.

Dampak tanam paksa bagi orang –orang Jawa dan Sunda di seluruh Jawa sangat beragam. Bagi kalangan elit bangsawan di seluru Jawa, ini merupakan zaman yang benar-benar menguntungkan. Kedudukan mereka menjadi lebih aman dan penggantian secara turun-temurun untuk jabatan resmi menjadi norma. Mereka selalu membuat keuntungan dari persentase yang dibayarkan atas penyerahan hasil bumi (M. C. Ricklefs, 2005 : 264).

Tujuan utama pemerintah kolonial Belanda menempatkan dan memanfaatkan prestise tradisional agar mendapatkan administrasi murah. Dengan demikian perlahan para bangsawan yang tunduk pada kekuasaan Belanda akan meninggalkan kedudukan mereka sebagai pimpinan di dalam masyarakat, walaupun prestise mereka masih tetap kuat di kalangan penduduk desa.

Dampak dari penanaman paksa komoditi pertanian dianalisis sebagai berukut; pengembangan tebu dan perkebunan nila telah mengambil lahan, tenaga kerja dan air dari penanaman padi, sehingga merugikan penduduk setempat yang hanya mengandalkan padi sebagai tanaman subsistennya. Namun demikian adanya penduduk yang menjadi tenaga kerja akan mendapatkan upah. Di beberapa daerah seperti Pasuruan, penduduk setempat mengembangkan hubungan simbiosis dengan penanaman tebu dan gula secara bergantian, tetapi petani akan dibebankan pada pengolahan tanah yang rusak akibat penanaman tebu.

Sesuatu yang perlu diambil dari sistem tanam paksa adalah ada nilai-nilai positif walau tidak sebanding dengan kesengsaraan rakyat akibat kekuasaan penguasa. Salah satunya adalah penduduk yang pernah dijadikan objek atau daerah eksploitasi mengenal jenis dan cara dari tanaman ekspor yang tentunya akan menjadi modal serta pengalaman mereka akan datang. Dengan adanya tanam paksa penduduk Jawa secara luas diperkenalkan dengan uang sebagai alat tukar dalam membeli abrang, walaupun uang merupakan sesuatu yang sangat mahal bagi mereka.

Orang yang paling mendpatkan keuntngan dari sistem tanam paksa adalah para bangsawan dan pejabat-pejabat pribumi yang pada dasarnya terang-terangan mempraktekan kolusi dan korupsi setta manipulasi. Sehingga tidak haran bahwa yang menjadi dasar kesengsaraan rakyat adalah para bangsawan dan pejabat pribumi yang sengaja mencari keuntungan demi kepentingan kelompok dan individu.


PENUTUP

A. Kesimpulan

Sistem tanam paksa pada abad ke-19 merupakan alat yang digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mengeksploitasi potensi ekonomi demi mencapai keuntungan maksimum dengan cara yang paling ekonomis dan efektif. Sistem ini menghasilkan keuntungan besar untuk negeri induk, negara kolonial dan dengan cara paling sederhana juga menguntungkan kaum tani, sekalipun dalam tingkat yang bervariasi sesuai dengan status sosial.

Sistem tanampaksa mempunyai dampak positif dan negatif bagi petani. Berdampak positif dalam artian menawarkan penghasil tambahan bagi petani dengan ekspansi luas lahan padi dan diversifikasi kesempatan kerja. Dampak negatif dalam pengertian membebani masukan kerja wajib yang besar pada petani baik tanpa sejumlah imbalan uang atau pada sisi terbaik dengan imbalan kecil.

Sistem tanam paksa telah membantu perkembangan pola pembangunan ekonomi yang memaksakan perubahan sosial pada masyarakat petani abad ke-19. Perunahan melibatkan kesenjangan yang lebar antara elit desa dan kelas-kelas yang lebih rendah dari kaum tani.


DAFTAR PUSTAKA

J. Thomas Lindblad (ed). 2002. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia; A. M. Djuliati Suroyo. Penanaman Negara di Jawa dan Negara Kolonial. Yogyakarta : Pusat Studi Sosial Asia Tenggara dan Pustaka Pelajar.

Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta : Balai Pustaka.

M. C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta : Serambi

Jumat, Maret 26, 2010

SIMBOLISASI DALAM MASYARAKAT KALBAR

SIMBOLISASI DALAM MASYARAKAT KALIMANTAN BARAT
Oleh :
EKA JAYA PU

A. Latar Belakang
Kalimantan Barat merupakan wilayah yang memiliki banyak sekali sumber daya alam yang meliputi tambang, flaura, fauna dan sebagainya. Kekayaan yang ada dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat yang hidup di sekitar wilayah tersebut. Masyarakat yang hidup di Kalimantan Barat tidak hanya suku dayak saja melainkan berbagai macam suku diantaranya ; melayu, cina, jawa, batak, bugis, madura. Perbedaan etnis yang ada ternyata menambah kekayaan ragam budaya masyarakat Kalimantan Barat.
Perkembangan masyarakat di Kalimantan Barat tidak terlepas dari pengaruh yang datang dari luar baik budaya, agama maupun teknologi. Dengan adanya perkembangan masyarakat dan keanekaragaman budaya sehingga muncul kebersamaan serta pertalian antara etnis yang hidup di Kalimantan Barat. Dengan mengenal sejarah dan suku bangsa kita, meski sebagian masih banyak dalan sebuah cerita rakyat, adat istiadat dan hukum adatnya akan mempertinggi rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Kalimantan Barat terdapat beberapa kabupaten yang menghubungkan daerah satu ke yang lainnya dan tentu saja memiliki peranan penting dalam rangka memajukan daerah tersebut diberbagai bidang kebutuhan hidup dan lain sebagainya. Masyarakat asli Kalimantan Barat tidak ada yang mengetahui secara pasti karena perkembangan manusia sangat cepat sehingga banyak sekali manusia-manusia Kalimantan Barat yang sudah melakukan perkawinan silang antar ras, sub ras dan sebagainya.
Namun dari penelitian dan hasil catatan sejarah, mengatakan bahwa masyarakat penghuni daerah Kalimantan Barat adalah orang Dayak yang merupakan pendatang dari Yunan dan telah melakukan perkawinan campur dengan orang melayu sehingga menghasilkan warna kulit, wajah, bentuk fisik dan sebagainya sehingga mereka menjadi orang Dayak yang sekarang ini dapat kita jumpai di Kalimantan Barat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perkembangan Suku Dayak Kalimantan Barat ?
2. Mengapa muncul pengistilahan dan simbolisasi dalam masyarakat Kalimantan Barat ?
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN SUKU DAYAK DI KALIMANTAN BARAT
Suku dayak terdiri dari beratus-ratus suku kekeluargaan, tetapi masing-masing memberikan sumbangan kekeluargaannya dalam hukum dan adat istiadatnya. Hal ini tercermin dalam pelaksanaan upacara adat misalnya Gawai atau istilah bahasa kesatuan orang dayak adalah “Naik Dango”, yang pada dasarnya memiliki banyak persamaan antara suku dayak di Kalimantan Barat dalam pelaksanaannya.
Kemudian ada beberapa adat yang juga masih diyakini orang dayak hingga saat ini, seperti; percaya kepada mimpi, bunyi-bunyi burung tertentu, percaya pada ular yang melintasi jalanan, tumbangnya pohon melintang jalanan, menghormati leluhur yang telah mendahului dan macam-macam kuasa gaib. Hidup selalu dibayangi oleh kuasa gaib yang akan membalas setiap perbuatannya sehingga mereka harus berhati-hati dalam segala tindakan.
Suku ini cenderung pada takhayul yang menyangkut kehidupannya sehari-hari. Dalam kehidupannya sehari-hari ada saja perasaan sangsi. Sewaktu hendak keluar rumah, biasanya mereka melihat dahulu ke udara atau memandang ke tanah untuk mengetahui tanda-tanda yang diberikan oleh alam. Ke udara mereka mencari burung “antang” apakah dia ada atau tidak. Demikian juga mereka menunduk ke tanah, apakah ada “angoi” dihalaman atau ular melintasi jalan. Semuanya menetukan langkah yang harus diambil hari itu ( F. Ukur, Tantang Jawab Suku Daya, hal.206).
Kuasa gaib sangat ditakuti oleh oang dayak, dalam membuka lahan baru atau ladang, membangun rumah panjang, upacara perkawinan atau upacara apa saja harus selalu membayar adat terlebih dahulu kepada “Jubata” (istilah dalam penyebutan Tuhan). Adapun beberapa hal yang dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Jubata dalam kehidupan masyarakat dayak sehari-hari.
A. Korban
Mempersembahkan darah hewan sangat berarti bagi Jubata mereka. Apalagi kalau dapat mempersembahkan anaknya sendiri sebagai kurban. Pengurbanan bagi suku dayak banyak cara mulai dari penggunaan telir sampai pada kepala manusia.
B. Komunikasi
Suku dayak pada umumnya sifatnya peramah sama seperti suku lainnya di Indonesia. Percaya mempercayai adalah sifat luhur, mereka tidak senang menggunakan dan mendengar kata-kata kasar yang tidak menentu. Dalam percakapan harus selalu memberi kesempatan bagi mereka, jangan sampai memonopoli pembicaraan. Mereka senang berbicara terus terang tentang apa saja yang mereka rasakan atau pun bagi lawan bicaranya dan jangan meminta sesuatu yang tidak dimilikinya karena akan menyinggung perasaan mereka.
Orang dayak memiliki kemampuan praktis yang mengagumkan, ingatan yang sangat tajam dan konsep pemikiran religius yang kompleks tetapi sangat sempurna (F.Ukur. Tantang Jawab Suku Daya. hal.203)
C. Janji
Suku dayak sangat menuntut janji. Suatu janji harus ditepati dan janji dianggap hutang, walaupun mereka memiliki hutang yang sudah bertahun-tahun lamanya namun masih di ingat dan berusaha di bayar. Sifat pembohong sangat dihina oleh suku dayak. Unsur keadilan bagi suku daya dilihat dalam dua kategori yaitu : 1). Keadilan dalam hidup kekinian, 2). Keadilan dalam kehidupan yang akan datang (F.Ukur. Tantang Jawab Suku Daya. hal.203)
Arti unsur tersebut adalah dimana manusia harus berbuat adil kepada siap saja baik lingkup keluarga maupun orang lain yang merupakan keyakinan dan jangan pernah melanggarnya. Keadilan dapat membuat orang senang, sejahtera dan sebagainya. Apabila manusia berbuat adil dalam hidupnya maka ketika mati pasti akan mendapatkan ketenangan oleh Jubata.
D. Bertani
Kehidupan suku dayak masih bersifat nomaden dalam rangka mempertahankan hidupnya dari makan dan serangan kelompok lain. Hal yang sering dilakukan adalah berladang, dalam usaha pertaniannya suku dayak membuka lahan setiap tahun di tempat yang berbeda. Untuk membuka lahan baru suku dayak menggunakan sistem membakar hutan, hal ini disebabkan tanah yang kadar asamnya terlalu tinggi dan membakar adalah cara yang praktis dan cepat.
Dari penjelasan di atas tersebut sangat jelas bahwa suku dayak memiliki ideologi yang tercermin dari hukum adat istiadat yang dijadilan landasan mereka dalam rangka menjalani kehidupan masyarakat yang sudah tetata dengan baik. Hal ini menunjukan dari mulai suku dayak ada ternyata sudah membangun sebuah peradaban yang kapasitasnya bagi mereka adalah pranata sosial yang didapatkan dari pengalaman hidup leluhurnya.
Pengalaman yang sudah dijadikan hukum adat istiadat dalam pranata sosial tersebut adalah landasan bagi suku dayak dapat mempertahankan eksistensinya hingga saat ini. Perkembagan suku dayak hingga saat ini sudah sangat maju hal ini ditandai dengan banyaknya orang-orang dayak yang sudah mendapatkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Di samping itu juga dalam hal lain orang-orang dayak sudah banyak yang ikut aktif dalam perpolitikan sampai pada level tertingi menjadi kepala daerah.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan membawa perubahan bagi suku daya khususnya yang tersentuh oleh kemodernisasi secara tidak langsung akan memberikan warna baru dalam kehidupannya.
PENGISTILAHAN DAN SIMBOLISASI DALAM MASYARAKAT KALIMANTAN BARAT
Penduduk Kalimantan Barat terkenal dengan sebutan suku Dayak, banyak penduduk asli yang merasa terhina dengan istilah itu. Dayak sebenarnya adalah sebutan yang dipublikasikan orang Belanda pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Kalimantan Barat yang ingin mengatakan orang dayak adalah kuli atau budak. Sedangkan arti sebenarnya dalam dialek adalah daya maksudnya “hulu”, pada waktu itu ada seorang bertanya kepada temannya yang sedang berjalan kemudian pertanyaanya adalah; “Ampus Kakmae kitak(pergi kemana kalian ?)” jawab yang sedang berjalan tadi “Ampus Kak daya bo(pergi ke hulu)”.
Pada akhirnya kalimat daya diplesetkan oleh orang luar menjadi dayak dan menurut istilah orang luar dayak adalah kuli atau budak suruhan. Namun demikian sudah terjadi sekian lama dan suku dayak pun sudah tidak lagi mempermasalahkan hal tersebut. Yang terpenting dayak adalah sebuah suku yang masih memiliki eksistensi dan tidak bisa tergantikan.
Awal mula penduduk asli bertempat tinggal di tepi sungai atau daerah pesisir, tapi karena pendatang mendesak mereka dengan berbagai macam cara sehingga mereka berpindah ketempat lain yang lebih ke hulu. Sejak itulah mereka disebut orang hulu atau bahasa mereka “ Daya” dan terciptalah sebutan orang daya atau suku daya. Kedatangan suku lain seperti melayu, bugis, cina dan lain sebagainya disebut sebagai orang laut.
Menurut Ch. F.H. Duman, bahwa suku daya-lah penduduk asli pulau Kalimantan. Mula-mula mereka menduduki atau mendiami tepi sungai Kapuas dan laut Kalimantan. Tapi datangnya melayu dari sumatera dan dari tanah semenanjung Malaka, terpaksalah terdesak mereka ke hulu sungai. Semakin lama pendatang semakin banyak datang kedaerah ini maka semakin terdesak pula mereka ke hulu sungai dan bahkan mereka banyak yang lari ke gunung-gunung untuk berlindung dari serangan suku lain.
Bangsa Tionghoa suku Tio Ciuyang dipimpin oleh Liem Thai Chiang dan suku Khe di bawah pimpinan LhoThai Pha yang terkenal dengan kongsi dagangnya dan melakukan penggalian emas di Mandor dan Monterado, juga turut andil dalam rangka memberi pengaruh bagi masyarakat Kalimantan Barat yang berorientasi pada perdagangan.
Menurut kutipan F. Ukur dalam bukunya Tantang Jawan Suku Daya ha.52, bahan konkrit oleh Dr.H.J. Malinckrodt mantan controlent di masa penjajahan, dia membedakan suku daya dalam enam rumpun yang disebut “STAMMENRAS”
1. STAMMENRAS : KENYA KAYAN BAHAU
2. STAMMENRAS : OT DANUM
3. STAMMENRAS : IBAN
4. STAMMENRAS : MOEROET
5. STAMMENRAS : KLEMANTAN
6. STAMMENRAS : POENAN
Pada dasarnya Stammenras adalah kelompok besar suku daya berdasarkan atas daerah atau wilayah dan bahasa serta dialek yang berbeda. Hal ini merupakan gambaran besar tentang eksistensi suku dayak yang sebenarnya telah dipengaruhi dan desakan suku lain namun masih mampu untuk bertahan dengan membentuk kelompok besar berdasarkan daerah dan kepentingan penguasanya.
Terlepas dari pengistilahan yang lahir dari sebuah salah pahan ( miss communication ) antara pendatang dan penduduk lokal yang melahirkan istilah baru namun istilah tersebut ternyata menghina perasaan penduduk lokal. Penjelasan ini tidak terfokus pada pengistilahan namun muncul suatu simbolisasi yang hidup dalam masyarakat Kalimantan Barat dan hingga saai ini menjadi sebuah identitas.
Hal tersebut berkaitan dengan agama dan etnis yang sebenarnya muncul akibat adanya pengaruh ideologi dan paham ketuhanan terhadap orang darat atau hulu maupun orang laut atau pendatang. Berawal dari proses kedatangan orang melayu Sumatera dan Malaka ke tanah Kalimantan Barat khususnya dengan membawa paham agama Islam sehingga penduduk lokal ada yang dapat menerima paham tersebut namun ada pula yang menolak dan terpaksa terpinggirkan dari keberadaan sebenarnya.
Masuknya Islam ke Kalimantan Barat membawa warna baru di daearah itu yaitu perkembangan agama Islam begitu cepat, ini dibuktikan dengan pemeluk agama Islam yang rata-rata adalah penduduk yang hidup di pesisir. Dengan demikian maka sebutan “Melayu” adalah bagi orang yang memeluk agama Islam. Sehingga sampai saat ini simbolisasi itu sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Barat.
Simbolisasi yang dimaksud dalam masalah adalah dengan masuknya pengaruh Islam yang dibawa oleh melayu Sumatera dan Malaka kemudian dianut oleh masyarakat pesisir dan sebagian diantaranya adalah orang-orang dayak sehingga pada akhirnya mereka disebut sebagai orang melayu. Keberadaan masyarakat pesisir yang semakin berkembang baik dalam segi agama, ekonomi, sosial, budaya memaksa orang-orang dayak yang tidak memeluk agama Islam membuka perkampungan baru di pedalaman.
Kampung baru tersebut masih melaksanakan sistem lama yaitu animisme dan dinamisme. Pada abad ke-18 datang pula bangsa Eropa yaitu Belanda yang mana membawa dan memperkenalkan agama baru kepada orang-orang dayak yang hidup dipedalaman. Dengan demikian secara tidak langsung masyarakat pedalaman tersebut memeluk agama yang dibawa para misionaris Belanda.
Para misionaris ini biasanya memperkenalkan agama Katholik dengan suatu pendekatan sosial seperti memberikan kemudahan dalam hal kebutuhan makan, pakaian, kesehatan dan sebagainya. Dari itulah maka banyak orang-orang dayak yang tertarik akan kebaikan para misionaris tersebut. Setelah itu barulah disentuh masyarakat dayak dengan paham-paham ketuhanan.
Perkembangan selanjutnya istilah-istilah melayu untuk sebutan masyarakat yang memeluk agama Islam dan sebutan dayak bagi masyarakat yang memeluk agama Kristen Khatolik atau Kristen Protestan. Dengan demikian istilah ini menjadi symbol yang hingga sekarang berkembang menjadi penomena social dalam masyarakat Kalimantan Barat.
PENUTUP
Kesimpulan
Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki multi etnis, cultur, religi. Sehingga tidak mengherankan apabila daerah ini sering terjadi konflik. Konflik yang terjadi sebenarnya bukanlah karena masalah perbedaan etnis, religi yang ada namun melainkan kepentingan yang dimiliki oleh elit-elit tertentu sehingga memasukan elemen etnis sebagai alat untuk memperkeruh suasana. Dan dari itulah Kalimantan Barat salah satu daerah rawan konflik, maka dengan adanya pemahaman dan kesadaran antar etnis akan meredakan isu-isu konflik yang sering melanda daerah tersebut.
Simbolisasi yang muncul akibat pengaruh luar baik yang datang dari Sumatera dan Eropa ternyata menjadi budaya masyarakat Kalimantan Barat hingga saat ini. Masyarakat Kalimantan Barat asli adalah suku dayak yang pada awalnya sudah memiliki adat istiadat, hokum dan religi. Namun ketika datangnya melayu dari Sumatera dan Semananjung Malaka yang pertama diperkenalkan adalah suku dayak yang hidup di pesisir sungai atau pun laut. Dengan demikian banyak diantara mereka yang dulunya hidup dengan adat, hokum dan religi yang sudah terbentuk tetapi setelah pengaruh melayu datang mereka menjadi penganut suatu paham dan budaya melayu tersebut.
Adanya perkembangan masyarakat pesisir yang semakin membawa perubahan pada sistem sosial, politik dan agama. Maka semakin lama tumbuh istilah yang secara tidak disadari tetapi sadar akan hal itu dengan sebutan Melayu bagi masyarakat yang dulunya suku dayak yang telah memeluk agama Islam dan menggunakan cara pandang Islam dalam rangka menjalankan segala aktivitas hidupnya.
Bagi suku dayak yang tidak ingin terkena pengaruh dari orang-orang melayu, mereka mencari tempat baru yaitu daerah yang agak jauh dari pesisir. Ketika pada abad ke 17 dengan datangnya bangsa Barat yaitu Belanda dengan melakukan pendekatan terhadap suku dayak yang belum tersentuh oleh budaya atau paham dari luar. Para misionaris secara perlahan-lahan melakukan pendekatan social dengan memberikan bantuan ekonomi, kesehatan dan lain-lain. Dengan demikian banyak diantara orang-orang dayak yang simpati terhadap misionaris tersebut. Dengan demikian paham ketuhanan mulai mendapat tempat sebagai sarana dalam rangka penyebaran agama katholik.
Perkembangan agama Katholik di Kalimantan Barat juga pesat di dukung pula dengan berdirinya tempat ibadanya diberbagai tempat sehingga mempermudah proses peribadatan. Agama Katholik yang dianut oleh masyarakat pedalaman (hulu) menjadi sebuah pengistilahan yang disebut orang dayak. Setiap menyebut orang dayak besar kemungkinan mereka adalah pemeluk agama Katholik. Hal ini lah yang menjadi sebuah penomena sosial dalam masyarakat di Kalimantan Barat yang pada akhirnya muncul simbol dalam penyebutan sebuah identitas.
Namun perbedaan dan pengistilahan tersebut bukan menjadi masalah justru menjadi sebuah khasanah budaya dalam masyarakat Kalimantan Barat. Konflik yang terjadi sebenarnya bukan karena perbedaan status, etnis, agama melainkan perbedaan pendapat dalam sebuah kepentingan elit-elit tertentu untuk mendapatkan kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Fridolin Ukur, Tantang Jawan Suku Daya.
J. E. Lontaan, 1976. Sejarah-Hukum Adat Dan Adat Istiadat Kalimantan-Barat. Offset Bumi Restu: Jakarta.