Welcom to ekajayapu.blogspot.com

do not ever resign work

Senin, Juni 07, 2010

Suplemen Sejarah Perlu Kreativitas Guru


Oleh : G. Moedjanto
Kompas Senin, 10 April 2000
PELAJARAN paling rentan berhubung dengan adanya reformasi adalah sejarah. Hal itu terjadi karena lahirnya keberanian untuk mempersoalkan hal-hal yang kontroversial. Maka, begitu era reformasi bermula, muncullah tuntutan agar pelajaran sejarah-yang selama Orde Baru diselewengkan menjadi alat legitimasi-diluruskan.
Untuk itu Kurikulum 1994 mesti dibenahi. Hal itu dilakukan tanpa membongkar seluruh bagiannya, melainkan dibatasi pada pokok-pokok bahasan yang memerlukan pelurusan mendesak. Hasil dari usaha pembenahan itu adalah suplemen Garis-garis Besar Program Pengajaran alias GBPP pelajaran sejarah bertanggal 15 Oktober 1999.
Guna membenahi kurikulum pelajaran sejarah, khususnya GBPP-nya, Depdiknas melalui Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah mengerahkan suatu "pasukan" yang digolongkan menjadi dua, yaitu penulis (12 orang) dan editor buku pedoman bagi guru (empat orang). Dari nama-nama yang tercantum dalam suplemen, jelas Depdiknas berniat membuat suplemen dan buku pedoman yang betul-betul historis-ilmiah.
Dikeluarkannya suplemen bertujuan untuk membantu guru sejarah dalam proses mengajar-belajar (dalam suplemen hanya disebut proses belajar), antara lain agar (1) guru memiliki fakta yang akurat, dikaji dan teruji serta disetujui oleh para sejarawan tentang peristiwa G30S, Surat Perintah 11 Maret dan awal Orde Baru, serta masalah integrasi Timor Timur, sehingga guru dapat menjelaskan dan memberikan jawaban yang lebih meyakinkan kepada peserta didik (murid-siswa); dan (2) dapat menjelaskan adanya kerancuan antara fakta dan penafsiran yang terdapat dalam berbagai sumber informasi, sehingga kerancuan tidak berdampak negatif.
Kalau kita membaca suplemen untuk Kurikulum 1994, yang tebalnya 69 halaman kwarto, terbuktilah bahwa bahan ajar yang termuat dalam paragraf "Tujuan" masih harus ditambah dengan dua bab, yaitu:
(1) Krisis dan Tuntutan Reformasi (bab IV); dan (2) Perkembangan dan Penerapan Ilmu Pe-ngetahuan dan Teknologi serta Masalah Lingkungan Hidup (bab V).
Jadi beratlah tugas guru sejarah untuk mengajarkan suplemen atas bahan yang sudah ada. Dan semoga pedoman yang sedang ditulis betul-betul membantu guru sejarah. Jadi uraiannya mesti uraian yang bernuansa sejarah.

***

UNTUK membuat ulasan atas suplemen, yang karena terbatasnya ruang, maka perlu kiranya para siswa diberi pemahaman beberapa prinsip. Pertama, bagaimana kisah masa lalu itu disusun. Berbeda dengan ilmu alam atau sosiologi, yang sumber informasinya dihadapi langsung, dalam sejarah peneliti dan obyek yang diteliti dipisahkan oleh jarak waktu.
Kedua, jangan memaksakan kepastian. Sumber sejarah tidak selalu memberikan informasi yang mencukupi dan jelas. Maka sejarawan harus berani berendah hati menyatakan peristiwa yang diteliti dengan keterangan barangkali, mungkin, atau menurut sumber A begini, menurut sumber B begitu. Dengan demikian, untuk menulis sejarah diperlukan keberanian dan kemampuan membuat tafsiran, yang demi mendekati kebenaran, tafsiran itu tidak boleh sembarangan, melainkan harus metodis. Bahkan kadang-kadang harus berani menerima adanya dua tafsiran (simpulan atau teori), sebab dalam membuat tafsir sejarah, pandangan subyektif penulis yang satu dan yang lain tak dapat dihindari 100 persen. Maka pentinglah perspektif sejarah.
Ketiga, kebenaran sejarah itu selalu bersifat sementara. Pada masa kemudian penulisan kembali sejarah harus dilakukan. Hal itu terkait dengan ditemukannya sumber sejarah yang baru, pemakaian pendekatan dan metode penulisan baru dan lepasnya penulis sejarah dari zaman atau situasi yang menjeratnya.

***

AKTUALISASI pengajaran sejarah dengan bahan suplemen ini menuntut keberanian dari para guru dan kearifan birokrat pendidikan. Beranikah guru mengemukakan uraian sejarah yang benar, meski berbeda dengan bahan dalam buku resmi?
Kalau kita cermati sebenarnya suplemen ini mengisyaratkan supaya guru mempunyai keberanian memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan fakta dan tafsir lain, yang berbeda dengan fakta dan tafsir yang disampaikan oleh guru, tanpa guru menyalahkan peserta didik. Perbedaan fakta dan tafsiran justru dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan diskusi, sehingga kemampuan berpikir siswa bertambah kuat, serta kemampuan membuat sintesis diberi peluang untuk berkembang (Bab Pendahuluan, butir C No 4-6). Kecuali itu, birokrat pendidikan supaya memberi peluang kepada guru untuk berkreasi dalam pengajaran sejarah demi kebenaran obyektif, bukan kebenaran resmi. Akhirnya, mutu pendidikan sangat ditentukan oleh mutu guru. Lagi pula, bukankah historiografi babad sudah lewat?
Akan tetapi, suplemen ini masih perlu dikembangkan, antara lain oleh guru, sehingga persoalan yang dibahas menjadi proporsional. Sejauh ini kita jumpai begitu banyak pertanyaan dengan kata kunci bagaimana. Guru dapat dan harus menambah dengan kata kunci apa dan bagaimana hubungan-(nya). Akan menjadi analisis kalau pertanyaannya menggunakan kata kunci mengapa, misalnya mengapa PKI berhasil membunuh jenderal-jenderal AD dalam peristiwa G30S? Mungkin ada siswa yang menjawab "itulah bukti dinas inteligen AD pada tahun 1965 lemah".

***

SUPLEMEN ini memang dibuat untuk membenahi pengajaran sejarah dengan Kurikulum 1994. Akan tetapi, kita mesti memakainya secara kritis dan bila perlu harus memberikan koreksi, misalnya:
1) Tes obyektif uraian, kiranya yang benar tes obyektif dan tes uraian dan seterusnya (hal 3);
2) Manifesto Politik 1957, mestinya 1959 (hal 5);
3) Penggunaan kata Portugis dan Portugal perlu dibetulkan secara ajeg, misalnya pada halaman 18, 19, 24 dan passim; dan,
4) Gerakan 20 Mei 1998 bukan saja gerakan mahasiswa tetapi gerakan seluruh rakyat dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam VIII.
Meski beban guru sejarah dengan suplemen itu bertambah berat, tetapi biarlah guru mencobanya. Kita beri peluang kepada mereka untuk berkreasi dengan cermat. Suplemen itu buatan orang, meski bergelar doktor atau profesor tentu masih dapat berbuat salah, karena mereka bukan Sang Maha Wikan.*
(G Moedjanto, sejarawan dan dosen di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta )