Welcom to ekajayapu.blogspot.com

do not ever resign work

Jumat, Mei 21, 2010

Gawai Dayak,Rumah Panjang Sebagai Penelusuran Identitas (Perspektif Teori Fungsional)


PENGANTAR

A. Latar Belakang
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern.
Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak. Perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat upacara syukuran kepada Jubata yang dilaksanakan masyarakat Dayak Kalimantan Barat setiap tahun setelah masa panen. Upacara adat syukuran setelah panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange.
Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan upacara pascapanen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketimanggungan. Acaranya pun hanya terbatas pada nyangahathn (pelantunan doa/mantra) dan saling kunjung dengan suguhan utamanya seperti: salikat/poe‘ (lemang/pulut dalam bambu), tumpi‘ (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan sejenis daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.
Berkaitan dengan upacara gawai Dayak yang dijadikan momentum dalam rangka mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. Dalam prosesi upacara gawai dayak tidak dapat terpisahkan dari rumah panjang sebagai identitas orang dayak. Rumah panjang memberikan arti penting yaitu gotong royong, kebersamaan dan tanggung jawab seorang pemimpin kepala suku. Seiring dengan hal kegiatan tersebut apakah masih relevan dengan kajian dari teori fungsional. Dimana teori fungsional mengatakan setiap tindakan atau kegiatan yang masih berjalan sesuai dengan struktur atau prosedur maka hal tersebut masih berfungsi. Apabila seharusnya hal tersebut dilakukan namun tidak sesuai dengan prosedur maka kegiatan itu sudah tidak berfungsi lagi. Teori fungsional tetap berjalan apabila sebuah kegiatan masih utuh dan fungsi atau maksudnya. Kapasitas teori fungsional dapat diukur atau dilihat dari fungsi sosial, agama, budaya, adat-istiadat dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
 Berdasarkan dari latar belakang masalah maka dapat dimunculkan  beberapa masalah sebagai berikut :
  1. Apa makna gawai dayak ?
  2. Mengapa rumah panjang sebagai identitas dayak ?
  3. Apakah fungsi rumah panjang terhadap gawai dayak ?
 

PEMBAHASAN

1.    Gawai Dayak
Suku dayak merupakan kelompok orang yang diakui penghuni hutan Kalimantan pertama. Kebudayaan yang tumbuh mencerminkan karakter manusia pekerja keras karena keadaadan ekologis yang membentuknya. Dengan perkembangan dan pertumbuhan evolusi manusia sehinggga Kalimantan Barat khususnya memiliki jumlah suku dayak yang banyak. Suku dayak induk terbagi menjadi 7 dan terdapat 405 sub suku didalamnya, sehingga setiap daerah atau tempat memiliki bahasa yang berbeda. 
Suku dayak pada umumnya masih berfikir primitif artinya dalam bertindak selalu menganggap segala sesuatu memiliki roh. Mereka memiliki kepercayaan bahwa manusia itu bagian dari alam sehingga apa yang ada di alam ini juga mahluk hidup yang harus dijaga karena sesuatu yang bergerak memiliki kekuatan. Dari hal itu orang dayak menganggap sesuatu memiliki roh maka mereka percaya bahwa roh itu dapat membantu dalam segala hal.
Percaya dengan adanya kekuatan di luar manusia maka terciptalah hukum yang tercermin dalam adat. Hukum atau adat merupakan manifestasi kepercayaan yang dapat membentuk mereka menjadi sebuah manusia yang memiliki aturan dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum yang mereka buat timbul dari jiwa rakyat sebagai proses dari kebudayaan mereka, maka dapat dinikmati dan diresapi hingga kesegenap lapisan suku daya.
Dengan adanya aturan dalam hidup membuat manusia dapat memilah hal yang buruk dan baik. Hal ini tercermin ketika seseorang melakukan perbuatan salah maka harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Berat ringannya hukuman sesuai dengan kesalahan yang diputuskan bersama. Di samping itu juga ada aturan yang dibuat dalam rangka menjaga keutuhan alam, menjaga keamanan dalam kelompok, tatanan sosial, dan sebagainya.
Kekuatan yang berada di luar manusia menjadikan orang dayak sangat takut melakukan kesalahan. Roh menurut mereka ada yang jahat ada pula yang baik, cara menghormatinya adalah ketika orang dayak membuat lahan baru atau melakukan cocok tanam mereka selalu meminta bantu atau perlindungan roh. Sebagai bentuk penghormatannya adalah sesembahan dalam bentuk gawai.
Gawai adalah upacara adat yang didalamnya bermakna syukur yang tak terhingga kepada roh leluhur atau Jubata ( penyebutan Tuhan dayak Ahe ) karena telah membantu dan memberikan perlindungan selama bercocok tanam hingga panen. Upacara gawai dayak di tiap-tiap tempat penyebutannya berbeda-beda namun hakikatnya sama. Sebutan  Naik Dango, atau Maka‘ Dio adalah penyebutan upacara gawai dayai secara universal “Tujuannya sendiri kurang labih sama, mengadakan pesta atau selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata” (Akcaya, 1997:16). Aswin dalam Akcaya 29 April 1994:03 mengatakan, “Upacara Naik Dango merupakan ungkapan rasa syukur atas keamanan, kesehatan, dan hasil panen yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan”. Jadi, Gawai Dayak pada prinsipnya sama dengan Naik Dango.  “Orang Dayak paling tidak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan mulai dari Baburukng sampai tahap terakhir yaitu, upacara adat Naik Dango atau Ka‘ Pongo”. Sebelum hari puncak dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan pelantunan mantra (nyangahathn), yang disebut matik. Tujuannya ialah memberitahukan dan mohon restu kepada Jubata bahwa besok akan dilaksanakan pesta adat. Pada hari puncaknya dilaksanakan upacara adat dengan nyangahathn di ruang tamu (sami), memanggil semangat (jiwa) padi yang belum kembali, nyangahathn di lumbung padi (baluh atau langko) untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya, dan nyangahatn di tempayan beras (pandarengan) tujuannya memberkati beras agar bertahan dan tidak cepat habis.
Nyangahathn dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi religi suku Dayak. Nyangahatn adalah wujud upacara religius yang menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan atau tahapan yang baku, kecuali bahan, jumlah roh suci, para Jubata yang diundang, dan tentu saja konteksnya. Dari segi tahapannya nyangahatn terbagi menjadi (1) matik, (2) ngalantekatn, (3) mibis, dan (4) ngadap Buis. Matik bertujuan memberitahukan hajat keluarga kepada awa pama (roh leluhur) dan jubata. Ngalantekatn bertujuan permohonan agar semua keluarga yang terlibat selamat. Mibis bertujuan agar segala sesuatu (kekotoran) dilunturkan, dilarutkan, dan diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam ke arah barat. Terakhir adalah ngadap buis, yakni tahapan penerimaan sesajian (buis) oleh awa pama dan Jubata, dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat atau pengudusan (penyucian) terhadap segala hal yang kurang berkenan, termasuk pemanggilan semua jiwa yang hidup (yang tersesat) agar tenang dan tenteram.
Dilihat dari kondisi bahan yang digunakan, tahapan pertama sampai ketiga, disebut nyangahatn manta, yakni nyangahatn dengan bahan yang belum masak (mentah), sedangkan ngadap buis disebut nyangahatn masak, disiapkan dengan bahan-bahan yang siap hidang (sudah masak). Sebenarnya ada nyangahathn dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa ungkapan/doa pendek dengan sajian sederhana: nasi, garam, dan sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau, dan rokok daun nipah), nyangahathn sederhana ini disebut babamang.
Gawai Dayak atau Naik Dango didasari mitos asal mula padi yang populer di kalangan orang Dayak Kalbar, yakni cerita nek baruang kulup. Cerita asal mula padi berawal dari setangkai padi milik jubata di Gunung Bawakng yang dicuri seekor burung pipit dan jatuh ke tangan nek jaek yang tengah mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput menyebabkan ia diejek, dan keinginan membudidayakannya menyebabkan pertentangan dan bahkan ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata, adalah nek baruang kulup. Nek baruang kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada talino (manusia,) lantaran ia suka turun ke dunia bermain gasing. Perbuatan ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawakng dan akhirnya kawin dengan manusia. Padi akhirnya menjadi makanan sumber kehidupan yang menyegarkan, sebagai pengganti kulat (jamur) bagi manusia. Namun, untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan keluarga manusia dan jubata yang menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia. Fungsi padi dan kemurahan jubata inilah yang menjadi dasar upacara Naik Dango.
Makna upacara Naik Dango antara lain, adalah  menyukuri karunia Jubata; mohon restu kepada jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dangau padi; pertanda penutupan tahun berladang; mempererat hubungan persaudaraan/solidaritas. Dalam kemasan modern, upacara adat ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pemeran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Gawai Dayak lebih menonjol sebagai pesta daripada sebagai upacara ritual. Namun, dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.

2. Rumah Panjang
Di Kalimantan Barat rumah panjang identik dengan orang Dayak. Tidak ada suku lainnya di Kalimantan Barat, bahkan di Kalimantan yang memiliki tempat tinggal sama atau mirip dengan rumah panjang. Meski demikian, pada saat ini bagi sebagian besar generasi Dayak, budaya rumah panjang hanya tinggal cerita. Salah satu peninggalan rumah panjang orang Dayak Kabupaten Pontianak ada di Desa Saham, orang Dayak Iban di Kecamatan Embaloh Hulu masih memiliki tiga rumah panjang. Fran (1994:201).
Punahnya rumah panjang merupakan bagian dari sejarah panjang mengenai penghancuran budaya Dayak di Kalimantan Barat. Penghancuran budaya Dayak telah bermula sejak masuknya agama baru, baik Islam maupun Kristen. Orang Dayak yang masuk Islam mengidentifikasi diri sebagai orang Islam, yang berarti meninggalkan identitas mereka sebagai orang Dayak. Demikian juga, para penyebar agama Kristen yang mengemban tugas yang mereka sebut La mission sacre (tugas suci). Orang Dayak yang tidak menganut Nasrani disebut kafir, menyembah berhala, primitif, animisme. Tugas Nasrani memberadabkan orang Dayak karena menganut budaya yang mereka sebut sebagai Ragi Usang. Konsep Ragi Usang ini pada prinsipnya ialah ingin mengosongkan orang Dayak dari budaya mereka sendiri (Djuweng, dalam KR, 1998:7).
Pada masa orde baru salah satu bentuk penghancuran budaya Dayak adalah penghancuran rumah panjang pada tahun 1970–an karena hidup di rumah panjang dianggap menyerupai cara komunis, berbahaya bagi kesehatan, dan tidak bermoral karena melakukan seks bebas. “Kebijakan itu bukan saja menyinggung perasaan orang Dayak, melainkan juga bisa mempercepat proses kehilangan identitas mereka” (Josef, 1992:XVI)
Fanatisme rumah panjang selain menuntut pengadaan fisik rumah panjang sebagaimana tuntutan upacara di daerah-daerah, juga menghendaki agar fungsinya sebagai pusat kebudayaan diberlakukan kembali. Hal ini terlihat dari keinginan memusatkan segala kegiatan Gawai Dayak di rumah panjang. Dengan kata lain, fanatisme rumah panjang, menyangkut rumah panjang sebagai pusat kebudayaan yang meliputi berbagai sistem sosial yang ada di dalamnya. Gawai Dayak menjadi proses penelusuran kembali salah satu identitas penting dalam budaya Dayak yang terlindas sejarah masa lalu.
Dikaitkan dengan penghancuran rumah panjang di masa silam, penegasan kembali identitas budaya rumah panjang juga dapat dilihat sebagai proses perlawanan panjang atas sejarah untuk memperoleh kembali apa yang sebelumnya dipaksa hilangkan melalui penghancuran budaya Dayak, yakni pengakuan dan penghargaan terhadap orang Dayak sebagai sesama dengan segala kekhasannya. Orang Dayak tidak ingin sekedar dianggap ada, tetapi hak-hak mereka sebagai warga dihormati dan dihargai. Dalam perspektif ini Gawai Dayak tidak hanya strstegis bagi pengembangan seni budaya Dayak, tetapi juga strategi bagi membangun dimensi kemanusiaan penting lainnya, yakni perasaan sederajat, dan keyakinan terhadap budaya sendiri.
Rumah panjang menjadi sangat sakral ketika kehidupan orang-orang dayak dilakukan di dalamnya. Sehingga setiap kegiatan ataupun masalah selalu dibicarakan di dalam rumah panjang. Mereka hidup dan bercengkrama baik suka maupun duka selalu dalam rumah panjang. Keberadaanya menjadi penting dan tidak dapat terpisahkan dari kehidupan dan sudah menjadi identitas orang ketika membicarakan orang dayak.

3. Fungsi Rumah Panjang Terhadap Gawai Dayai
Sebelum menginjak pada fungsi rumah panjang terhadap gawai dayak, ada beberapa hal yang harus kita ketahui yaitu pelaksanaan upacara gawai dayak yang tentunya persiapannya dilakukan di rumah panjang. Sebelum pelaksanaan gawai terlebih dahulu para pemuka dan masyarakat memperisiapkan barang-barang yang akan digunakan seperti beras, pulut (ketan), tuak (minuman dari ketan yang dicampur dengan ragi sehingga mengeluarkan air), arak, hewan korban. Selain itu juga biasanya setiap kampung yang akan melaksanakan gawai selalu mengundang kampung lain. Undangan tersebut disebut dengan bun, sejenis rotan yang ujungnya dipuntal atau dibulatkan sesuai dengan berapa hari upacara gawai tersebut akan dilaksanakan.
Undangan diberikan setiap pintu rumah di kampung lain dan selalu meninggalkan beras ketan agar ketika dalam perjalanan para undangan menuju kampung yang akan melaksanakan gawai tidak kelaparan di jalan. Bila tiba saatnya upacara gawai akan dimulai maka para tamu sebelum naik rumah panjang terlebih dahulu akan disambut dengan tari-tarian dan pantun.
Setelah tari-tarian selesai selanjutnya para tamu dipersilahkan naik kerumah namun sebelum duduk tamu dipersilahkan memotong sebatang bambu dan harus minum air tuak terlebih dahulu. Ketika selesai memotong bambu tersebut barulah rombongan tamu dipersilahkan duduk dan segera mencicipi makanan serta minum yang telah disiapkan. Para tamu perempuan yang datang, membawa oleh-oleh berupa sepiring nasi dan seceret tuak, sedangkan yang lain terus menari-nari mengelilingi hewan yang akan dikorbankan ( J.U. Lontaan, 1975 : 492 ).
Pelaksanaan gawai dayak dilakukan sehari-harian penuh dengan suka ria, muda mudi, tua renta tanpa ada perbedaan golongan karena upacara gawai dayak merupakan kegiatan yang sangat sakral bagi orang dayak. Rumah panjang adalah tempat yang memiliki arti sangat penting dalam rangka kelangsungan upacara gawai dayak. Di samping itu juga rumah panjang merupakan gambaran bahwa kelangsungan hidup dapat berjalan dengan baik maka harus ada kebersamaan dan gotong royong sesama manusia sehingga rumah panjang tidak lagi bertujuan sebagai tempat berlindung namum sudah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara manusia, alam dan Tuhan (Jubata) dalam hal ini diaktualisasikan melalui uapaca gawai.
Dengan demikian dapat diambil suatu gambaran bahwa rumah panjang memiliki arti atau fungsi yang sangat penting terhadap pelaksanaan gawai dayak. Oleh karena itu katika dilihat dari teori fungsional maka antara rumah panjang dan gawai dayak masih dapat berjalan dengan seimbang. Saat ini rumah panjang sudah sangat jarang sekali ditemukan, ketika dilihat dari beberapa peristiwa di atas. Maka kelangsungan uparaca gawai dayak tidak lagi sesakral masa silam dan pelaksanaannya pun hanya sebatas event dan seremonial yang sudah berkurang makna sesungguhnya.
Apalagi perkembangan jaman dan teknologi sangat mempengaruhi pola dan cara hidup manusia ditambah dengan masuknya budaya-budaya baru. Bagi masyarakat yang tidak terbiasa dengan perbedaan, perbedaan budaya cenderung dilihat sebagai alasan untuk mengambil jarak, bahkan alasan untuk saling menekan. Penyeragaman menumbuhkan sikap konfrontatif dalam memandang kondisi pluralistik. Persoalan individual mudah memancing sentimen etnik, dan persoalan kecil mudah berkembang menjadi konfliks berskala besar. Situasi penyeragaman di satu sisi menyebabkan setiap kelompok cenderung tetap terisolasi, di sisi lain tidak memiliki arah berkembang yang jelas karena budaya nasional yang dijadikan kiblat tidak jelas wujudnya. Akibatnya, masyarakat daerah retak-retak dalam pluralisme dan budaya menjadi kerdil.
Hilangnya identitas dapat menyebabkan hilangnya pengakuan, kepincangan komunikasi dan berbagai bentuk kecemburuan sosial yang dapat menyebabkan keretakan, bahkan konflik dalam pluralitas. Dalam perspektif ini penegasan identitas penting bagi memupuk kesadaran akan kemajemukan, sedangkan bagi pemilik budaya, penegasan identitas penting sebab sebagaimana diungkap Kusni (1994:50), apabila keadaan tanpa kreativitas berlangsung terus, kebudayaan Dayak akan didominasi sehingga yang tertinggal hanyalah darah yang mengalir secara alami. Namun, secara kebudayaan hal itu sudah menjadi tidak jelas sehingga pengingkaran diri sebagai orang Dayak gampang terjadi.
 

DAFTAR PUSTAKA

Djuweng, Stepanus. 1998. Pembangunan Berarti Penindasan?, dalam Kalimantan Review. Pontianak: Institute of Dayakology Research and Development.

Frans L., E , S. Jacobus, dan Kanyan Concordius. 1944. Rumah Panjang Sebagai Pusat Kebudayaan Dayak, Dalam Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi. Institut of Dayakology Research and Development, Gramedia Jakarta.

Hulten Van, Josef Herman. 1992. Hidupku di antara Suku Dayak. Jakarta: Gramedia

J.U. Lontaan. 1975. Sejarah Hukum Adat Dan Adat Istiadat Kalimantan-Barat. Jakarta :  Offset Bumirestu.

Kusni, JJ. 1994. Dayak Membangun. Jakarta: Kolektif the Paragon‘s.


Sumber Surat Kabar :

Akcaya. 21 /9/ 1997:16. Berita: “Gawai Gayak Masih Minim Dana”.

Akcaya. 29/4/1994:3. Berita:”Aswin: Upacara Adat Naik Dango Perlu Diangkat Kepermukaan”.














Tidak ada komentar: